Kamis, 15 Maret 2012

sejarah hukum pidana di Indonesia



A.    Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.
Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, dibeberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayakumum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.


B.     Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a.      Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun1602-1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda.Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas daerah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.
Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Vandr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).
Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atauPeraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.
b.      Masa Regering Reglement (1855-1926)
Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistempemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, Karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan dibagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang”.
Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja dengan Konin klijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundang-undangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:
1. Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang                                Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun                          1866.
2. Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang                   Hukum Pidana Eropa.
3. Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum                          Pidana  Pribumi  yang diundangkan dengan Staatblad No. 85 Tahun 1872.
4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-                 undang Hukum Pidana  Hindia Belanda yang diundangkan dengan              Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai  berlaku 1 Januari 1918.
c.       Masa Indische Staatregeling (1926-1942)
Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement(RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan
Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet tahun1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda.Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang. Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakua nhukum pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
d.      Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebu tmenyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hokum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei.
Nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.
C.    Masa Setelah Kemerdekaan
Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945, Tahun 1945-1949. Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi system hokum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Oleh karena itu,untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hokum nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara. Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hokum colonial menjadi tata hukum nasional. Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1
“Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut”.
Pasal 2
“Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.

Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan colonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan :”Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret1942. Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hokum pidanayang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningenvan hetmiliter gezag. Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut.Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het militergezag) dicabut.
Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jurememang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di Indonesia.Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945.
Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut  kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan. Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP ini. Namun demikian,perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.
Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda.
KUHP yang beredar di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo,dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda.
KUHP warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic Family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual right)
Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru. Jika KUHP dilihat dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum pidana, yaitu pidana, tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka masalah-masalah dalam KUHP antara lain:
a. Pidana KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga arah pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama. Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku dalam arti tidak  dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan dalam KUHP juga lebih kaku sehingga tidak member keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk pelaku        tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis pidana, pelaksanaan pidana-pidana       mati, pidana denda, pidanapenjara, dan pidana bagi anak.
b. Tindak pidana dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat  positifis dalam arti harus dicantumkan dengan undang-undang (asas legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan.
Disamping itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hokum pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).
KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
c. Pertanggungjawaban pidana beberapa masalah yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS.
Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusanasas culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP (Pasal 45-47) adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun. Pasal-pasal tersebut tidak mengatur secara rinci tentang aturan pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya menyebutkan beberapa alternatif yang dapat diambil oleh hakim jika terdakwanya adalah anak di bawah umur 16 tahun. Selain itu, KUHP tidak menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Pada dataran realitas, sering kali beberapa tindak pidana terkait dengankorporasi seperti pencemaran lingkungan.

Rabu, 14 Maret 2012

Aku kecewa sahabat

Sahabat...
Kau hadir dalam suka dan dukaku
Dikala aku sedih kau ada
Dikala aku suka kau juga ada

Sahabat...
Jika kehadiranku selama ini kau anggap sampah
Jika perkataanku selama ini kau anggap luka
Maka maafkanlah aku
Tapi kau harus tau aku berusaha menjadi sahabat sejatimu
Bahkan bukan hanya sahabat aku anggap kau saudaraku

Sahabat...
Selama ini aku mengenali betul sifatmu
Tapi aku kerliru bahkan aku tak tau sifat aslimu
Aku, tak dapat bedakan mana kebaikanmu yang asli dan palsu
Aku hanya berpikir semuanya itu baik
Kau hebat, kau menang, aku mengaku kalah

Sahabat...
Seandainya aku boleh meminta aku akan putar waktu ini
Aku tak ingin mengenal orang yang aku pikir baik selama ini
Menusukku dari belakang, kau beberkan aibku pada orang lain
Aku juga tak menyangka ada orang yang masih baik padaku
Untuk mengingatkanku siapa sebenarnya kamu
Kau hanya hiasi kebusukanmu dengan basa-basimu
Sungguh aku tak sangka kau balas persahabatan ini dengan itu
Mungkin arti sahabat bagimu seperti itu

Sahabat...
Akhir-akhir ini aku banyak mengalah, aku lebih memilih diam
Padahal kamu tahu itu bukan sifatku
Tapi demi persahabatan aku lakukan itu
Aku mencoba tak percaya omongan orang
Tapi hari demi hari aku muak dengan sifat dan tingkahmu
Yang membuat aku percaya semua itu

Sahabat...
Aku salut dengan aktingmu selama ini
Aku pikir kau bijaksana
Terrnyata benar kau bijaksana sekali
Sampai bijaksana dalam hal membocorkan rahasia
yg mustinya kau jaga

Sahabat...
Aku baru tau bahwa kau baik padaku ada yang kau butuh dariku
Setelah kau tak butuhkanku kau tunjukan sifat aslimu
Sekali lagi kau hebat, hebat sunggguh hebat

Sahabat...
Aku tak pernah menyesal kenal denganmu
Karena aku bisa belajar sifat2 seperti itu
Aku tetap berterima kasih padamu atas kebaikanmu selama ini walau itu palsu
Aku berharap dan berdoa ini terakhir kalinya aku punya sahabat palsu

Sahabat...
Aku hanya bisa berdoa semoga kebaikanmu yang asli dibalas yang maha kuasa
Dan kebaikanmu yang palsu dihapus dosanya.

Sahabat...
Tapi kamu harus tau satu hal dalam diriku
Bahwa aku tidak pernah bisa membencimu
Dan aku juga tulus bersahabat denganmu
Aku akan senantiasa membantumu selama aku mampu
Maafkanku jika selama ini membuatmu terpaksa baik padaku
Sekali lagi aku minta maaf

Sahabat...
Satu hal saja yang ingin kutanyakan padamu
Apa sebenarnya tujuanmu membeberkan rahasiaku? Gara2 mulut lancangmu, sekarang semua orang jadi tau kalau aku ini ganteng... Eeaaa.