A.
Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda
yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah
mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak
tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat
tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum
pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum
perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber
dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.
Dalam ketentuannya, persoalan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang
diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. Di samping hukum
pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas
penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat
tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai
hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan
kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun,
dibeberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan
dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayakumum. Sebagai contoh
dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur
Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang
berisi hukum pidana adat Bali.
B.
Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan
Belanda
a.
Masa Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) Tahun1602-1799
Masa
pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke
wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan
pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah
kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh
pemerintah Belanda.Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General
yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan
perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian
hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas daerah jajahannya di
kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan
aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap
peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu
tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu
kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana
yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian
menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu.
Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi)
yang dibuat pada tahun 1642.
Pada
tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia
Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun
bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
peraturan-peraturan lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan
peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena
belum tersusun secara sistematis. Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur
jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara
pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.
Alasan
VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara
lain) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai berkuasa
mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk
mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang
ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia
Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Vandr Capellen. Mereka tetap
memberlakukan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris dan tidak
mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum.
Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus
de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani
hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).
Dengan
adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak
memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan
perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti
Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atauPeraturan Organisasi
Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau
Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW)
atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau
Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering
(RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.
b.
Masa Regering Reglement (1855-1926)
Masa
Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistempemerintahan di negara
Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan
ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD)
Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, Karena
parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan
di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya
Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan
tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan dibagian dari dunia. Aturan
tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan
ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai
daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur dengan
undang-undang”.
Dengan
ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap daerah
jajahan di Indonesia berkurang. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan
tidak semata-mata ditetapkan raja dengan Konin klijk Besluit, namun harus
melalui mekanisme perundang-undangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang
dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara
jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan
dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah
Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa
kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:
1. Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan
Staatblad No. 55 Tahun 1866.
2.
Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa.
3.
Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi
yang diundangkan dengan Staatblad No. 85 Tahun 1872.
4.
Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5.
Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang- undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad
No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1
Januari 1918.
c.
Masa Indische Staatregeling
(1926-1942)
Indische
Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement(RR) yang mulai
berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415
Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia
Belanda yang berawal dari perubahan
Grond
Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet tahun1922 ini
mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda.Berdasarkan Pasal
61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan
undang-undang. Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin
jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan
penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum
pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie) tetap
diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163
Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakua nhukum pidana Belanda
semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
d.
Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang selama
3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon)
memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei
melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan
Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebu tmenyebutkan
bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari
pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak
bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui
bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya,
masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo.
Pasal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hokum pidana yang diberlakukan
bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische
Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische
Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan
militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei.
Nomor
istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun
1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944
berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei
Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada
masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia
Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak
saling membawahi. Wilayah Indonesia timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut
Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah
kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya,
dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing
wilayah.
C.
Masa Setelah Kemerdekaan
Masa
pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum
Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu
pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah
Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia
Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950),
dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945, Tahun 1945-1949. Dengan
diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain
itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum
kolonial menjadi system hokum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian
bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya,
dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam
penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18Agustus 1945.
Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa
proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem
tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan.
Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang
lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan
diri sebagai bangsa yang merdeka.
Oleh
karena itu,untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hokum nasional
belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan
Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan
ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan
negara adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa
Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru,
segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan
diberlakukan sementara. Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia
mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hokum
colonial menjadi tata hukum nasional. Presiden Sukarno selaku presiden pertama
kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober
1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal
1
“Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan
yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar, masih tetap
berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut”.
Pasal
2
“Peraturan ini mulai berlaku tanggal
17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan
tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.
Sebagai dasar yuridis pemberlakuan
hukum pidana warisan colonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia,
keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1
undang-undang tersebut secara tegas menyatakan :”Dengan menyimpang seperlunya
dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2
menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan
hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret1942.
Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda
kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hokum pidanayang
dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima
tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942
dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang-undang tersebut juga dinyatakan
bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala
tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8
Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan
Verordeningenvan hetmiliter gezag. Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1
Tahun 1946 adalah sebagai berikut.Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan
panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het
militergezag) dicabut.
Pemberlakuan hukum pidana Indonesia
dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik
bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara
de jurememang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka,
namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja
berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun
negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum
selesai atas aksi kolonialismenya di Indonesia.Bahkan pada tanggal 22 September
1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke
Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang
Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang
mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945.
Ketentuan ini antara lain mengatur tentang
diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut kata
lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia
belum bisa melepaskan diri dari penjajahan. Wetboek van Strafrecht atau bisa
disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak
tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP
dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah berumur
lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan
sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP
ini. Namun demikian,perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari
KUHP tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.
Wujud asli hukum pidana Indonesia
adalah Wetboek van Strafrecht yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut
dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda.
KUHP yang beredar di pasaran adalah
KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum pidana,
seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo,dan
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi terjemahan Wetboek van
Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara Indonesia. Oleh karena itu, sangat
mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda.
KUHP warisan kolonial Belanda memang
memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman
Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System)
atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic Family. The Romano
Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran
individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual
right)
Hal ini sangat berbeda dengan kultur
bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP
ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul
tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru. Jika KUHP
dilihat dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum pidana, yaitu pidana, tindak
pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka masalah-masalah dalam KUHP antara
lain:
a. Pidana KUHP tidak menyebutkan
tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga
arah pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama. Pidana dalam
KUHP juga bersifat kaku dalam arti tidak
dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan
diri pelaku. Sistem pemidanaan dalam KUHP juga lebih kaku sehingga tidak member
keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai
jenis-jenis pidana, pelaksanaan pidana-pidana mati,
pidana denda, pidanapenjara, dan pidana bagi anak.
b. Tindak pidana dalam menetapkan
dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan dengan
undang-undang (asas legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak memberikan
tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak tertulis
dalam perundang-undangan.
Disamping
itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hokum pidana yang berorientasi
pada perbuatan. Aliran ini pada sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena
hanya melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).
KUHP masih
menganut pada pembedaan kejahatan dan pelanggaran yang sekarang telah
ditinggalkan. Tindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money laundering,
cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa perbuatan yang menurut hukum
adat dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena
itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan
nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
c. Pertanggungjawaban pidana beberapa
masalah yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain
mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam
KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai
penjelasan WvS.
Asas culpabilitas merupakan
penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang
berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena secara obyektif memang telah
melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara
subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusanasas
culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang terkait dengan
pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP (Pasal 45-47) adalah mereka
yang berumur di bawah 16 tahun. Pasal-pasal tersebut tidak mengatur secara
rinci tentang aturan pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya menyebutkan beberapa alternatif
yang dapat diambil oleh hakim jika terdakwanya adalah anak di bawah umur 16
tahun. Selain itu, KUHP tidak menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Pada dataran realitas, sering kali
beberapa tindak pidana terkait dengankorporasi seperti pencemaran lingkungan.
good article :)
BalasHapus